/**EDIT_TOMI */ /**EDIT_TOMI */

Rabu, 11 Februari 2009

Kota Bandung-ku tercinta

Saya tinggal di Bandung, kota yang bisa disebut kecil dibandingkan Jakarta, Surabaya dan Medan, atau juga disebut kota besar karena menjadi ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota ini terkenal sebagai Kota kembang, Paris van Java, kota sejuta wisata kuliner, kota yang jalan rayanya penuh lubang, kota surga impian para pendatang dari tanah seberang, dan kota yang sibuk dengan kemacetan lalu lintas.


Sebagai seorang pengendara sepeda motor (karena emang nggak ketulungan macetnya kalo pake mobil di bandung) saya tergolong berhati-hati untuk tidak melanggar aturan lalu lintas, walaupun sesekali “tergoda” untuk melintasi jalur verbodden –karena tidak ada polisi yang berjaga—atau bersiap-siap melintasi perempatan pada saat kendaraan dari arah lain (kanan-kiri dan depan) sedang memiliki hak untuk melintas.

Namun alangkah kagetnya saya ketika kehati-hatian untuk tidak melanggar lampu lalu lintas yang saya coba patuhi menjadi terganggu manakala di setiap perempatan yang ada di hampir seluruh jalan utama –apalagi jalur bukan utama—batas berhenti untuk setiap pengendara dilanggar oleh pengendara baik sepeda motor ataupun mobil. Saya tidak memiliki kamera digital untuk memotret moment penting itu, saya hanya mengandalkan kamera pada handphone saya yang masih beresolusi vga, walau sempat saya mencuri memotret pemandangan yang tidak lazim itu, namun saya mencoba untuk tidak menyisipkannya pada tulisan ini, takut jelek ah.

Rupanya kesadaran pengguna jalan khususnya di kota Bandung sudah semakin payah dan sangat tidak terkendali, selain marka pembatas cross link untuk pejalan kaki di setiap perempatan jalan yang seringkali dilanggar –mungkin karena catnya tidak tampak karena sudah usang— juga hak pejalan kaki yang sudah semakin tidak dihargai, bukan hanya sekali lagi oleh para pemilik kendaraan roda empat yang tanpa merasa berdosa memarkirkan kendaraannya di tepi-tepi batas trotoar, namun juga oleh para pemilik sepeda motor yang merasa bangga menggunakan trotoar yang menjadi hak pejalan kaki pada saat kemacetan melanda. Dan satu lagi, akibat PHK dan keterampilan yang sedikit dimiliki, banyak warga bandung yang terpaksa (atau hobby) menjadi PKL (pedagang kaki lima) yang celakanya menghabiskan badan jalan dan serakahnya menutup akses para pejalan kaki.

Wah, wah wah, kalau sudah begini, apa jadinya kota bandung yang tercinta ini. Saya sangat merasa sedih melihat kesemrawutan lalu lintas jalan raya, mobil yang parkir seenaknya, para PKL yang menjadi raja di trotoar milik pejalan kaki dan tentunya kepada pihak polisi lalu lintas yang sering mencuri kesempatan untuk memberlakukan tilang tiba-tiba, atau memungut upeti pada pengemudi angkutan tak berijin dan yang paling ngeri kalau sudah berlama-lama di depan terminal Cicaheum. Masya Allah, bus dan engkel yang memunguti penumpang setiap hari bersantai-santai menjadikan ruas jalan sebagai terminal bayangan sementara pak polisi di situ sibuk menerima upeti dan seolah acuh tak acuh terhadap kesemrawutan yang terus saja tetap menghiasi pintu gerbang kota Bandung dari arah timur ini.

Sekarang masih bulan Februari, masih dalam hitungan hari kalender kita akan berpesta demokrasi. Lagi-lagi jalan raya menjadi wahana paling efektif untuk menjadi space iklan. Ada poster dengan ukuran kecil menengah dan “bigger” pisan mencoba merebut perhatian calon pemilih dengan janji-janji yang bervariasi.

Saya pernah membandingkan sekelumit kenyamanan kota Bandung dan Jakarta. Memang bukan tandingannya atau tidak seimbang jika dibandingkan. Namun dari sudut pandang saya yang sederhana, Bandung teh enya pisan “geus heurin teuing ku tangtung, jeung loba nu ngagarantung”.

temukan informasi kota bandung dan kost-kost-an mahasiswa bandung hanya di http://www.kosbandung.co.cc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar